Senin, 05 November 2012

Malik Mahmud:Mengembalikan Kejayaan Budaya Aceh

Malik Mahmud:
November 15, 2008 by rustika herlambang
Mengembalikan Kejayaan Budaya Aceh 
malik mahmud
malik mahmud
Mengenal Malik Mahmud, bukanlah hal yang mudah. Kesan pertama yang timbul saat bertemu Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ia adalah orang yang tegas, agak kaku, dan penuh pertimbangan. Setiap kata-kata yang akan diluncurkan, dipikirkan dengan dalam. Beberapa hal yang sangat sensitive, seperti soal Aceh, ia terlihat sangat hati-hati dalam memberikan statement.

Beberapa kali dalam wawancara awal dengan Media, ia tampak sedikit tegang.
“Saya harus berhati-hati, karena masalah Aceh masih sangat sensitive. Sedikit perbedaan persepsi, akan menimbulkan dampak yang sangat besar,” jelasnya. Tangan kirinya  berkali-kali mengusap-usap dahinya yang sudah mulai mengerut , sementara tangan kanannya memain-mainkan digital recorder mini milik Media yang terletak di dekat tangan kirinya.

Tapi ketegangan ini pelan-pelan meluruh. Setelah terlibat banyak percakapan, Malik merupakan sosok yang hangat, perhatian dan menyenangkan. Seperti saat mengantar Media kembali ke hotel, pria berambut tipis dan sedikit ikal ini terus bercerita tentang segala rupa. Tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang Hasan Tiro, tentang budaya Aceh yang kaya raya, tentang makanan Aceh dengan imbuhan bumbu dari gaun ganja, dengan santai, ringan, dan menarik dengan bahasa Indonesia yang sangat baik.

Tapi lagi-lagi tak mudah untuk mengorek masa kecil pria yang empat tahun terakhir ini tinggal di Swedia. Ia terlihat agak tertutup. Tak banyak diceritakannya kecuali bahwa ia dilahirkan dari sebuah keluarga Aceh yang berpendidikan, tinggal di perantauan, dan sangat kuat menjaga tradisi ke-aceh-annya.

Ayahnya seorang tokoh pejuang Aceh, berasal dari daerah Aceh Besar, yang memiliki hubungan persahabatan dengan Teungku Hasan Tiro, sang Pemimpin GAM. Banyak keilmuan dan intelektualitas diturunkan ayahnya padanya. Salah satunya melalui surat-surat politik dari rekan-rekan ayahnya yang selalu diminta untuk untuk dibacakannya.

Selain itu, karena pria Aceh kelahiran Singapura ini juga memiliki kemampuan dalam menulis, iapun sering diminta untuk membalas seluruh surat-surat yang ditujukan untuk Ayahnya. Tentu saja dengan dikte dari ayahnya. “Ayah saya sering meminta saya membaca dan membalaskan surat-suratnya,” tukasnya sambil tersenyum mengingat beragam kenangan di masa kecilnya.

Diantara sekian banyak surat-surat yang mengalir untuk ayahnya di masa itu, hanya surat Teungku Hasan Tirolah yang sangat berkenan di hatinya. “Saya suka sekali membaca surat-surat Teungku Hasan. Beliau itu sangat hebat. Saya sangat terkagum-kagun dengan tulisannya, meskipun saya belum pernah bertatap muka sekalipun,” ungkap Malik membuka cerita perkenalannya dengan Hasan Tiro.

Apalagi tuturnya, Hasan Tiro merupakan keturunan langsung tokoh Aceh yang sangat disegani olehnya, Teuku Cik Di Tiro. “Sudah ada kedekatan emosional sejak pertama kali saya membaca surat Teungku,” kisah Malik yang kini juga dipanggil Teungku oleh para anggota GAM ini. Apalagi ketika itu ayahnya pernah berpesan padanya, agar ia iku jejak langkah Hasan Tiro. “Ia bakal menjadi orang besar di Aceh,” Malik menirukan kata-kata ayahnya.

Menurut Malik, ada kepercayaan Aceh yang menyatakan bahwa darah pejuang akan mengalir melalui keluarga tertentu yang berpengaruh, sepeti Tiro. Karena itulah rasa hormat itu kian menumpuk di hati Malik, hingga ia memutuskan untuk bersumpah setia mengikuti perjuangan Hasan Tiro.

Pertemuan Malik dan Hasan secara langsung terjadi di tahun 1964. Tepatnya ketika Hasan Tiro pulang dari Amerika dan langsung mendatangi kediaman keluarganya. “Kami sekeluarga terkaget-kaget melihat kehadiran Hasan Tiro di rumah kami. Wajahnya sangat karismatis dan intelek. Meskipun berpendidikan barat, namun soal sopan-santun sangat dijaga. Bahkan terkesan sangat aristocrat. Iapun fasih menggunakan bahasa Aceh yang sangat halus,” Malik mengungkapkan kekagumannya pada sosok Hasan Tiro yang membuka wawasan berpikirnya.

Belum lagi soal perilaku hangat dari pemimpin yang dikagumi ini terhadap keluarganya, membuat Malik semakin yakin akan pilihannya untuk bergabung bersama Hasan Tiro. “Ketika itu, ia langsung masuk ke dapur dan bertanya pada ibu saya tentang masakan yang tengah dibuatnya,” pria bertubuh tinggi tegap ini mengingat kisahnya. “Padahal beliau merupakan tamu kehormatan di rumah kami.” Sejak tahun 1964, ia resmi bergabung dengan Hasan Tiro, hingga kini.

Tak banyak disinggung tentang pendidikan yang pernah dilaluinya. Ia memilih untuk bercerita soal lain yang menurutnya “lebih esensial” untuk dibicarakan saat ini.

Kini  Malik sudah “pindah” ke Swedia. Namun ia tidak melakukan kerja formal seperti Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah. “saya full konsentrasi untuk GAM saja,”ia menegaskan. “Kalau saya punya kerja tetap, nanti saya nggak ada waktu untuk baca laporan sedemikian banyaknya,” ia tertawa lepas.

“Jangan ditanya, beban saya sangat berat. Berat tanggung jawabnya.,” tuturnya tentang tugasnya sebagai perdana menteri GAM saat ini. Setiap kebijakan yang dikeluarkan olehnya akan memberi dampak yang sangat besar. “Apalagi sekarang ini kan program darurat. Kalau aman, semuanya bisa lancer dan tertentu. Tapi kita dalam kondisi perang, tukasnya taktis.  Banyak hal yang sangat dalam yang benar harus dipikirkan, karena selain memikir strategi perang, kami juga memikir situasi rakyatnya. Itu semua menjadi beban yang harus ditanggungnya saat ini. “Sejarah kelak akan mencatat, apa yang telah saya lakukan memberikan manfaat atau justru merugikan suatu bangsa. Itulah yang sangat berat buat saya,” nada suaranya memberat.

Tentang proses perdamaian yang tengah terjadi saat ini, Malik Soal perdamaian yang tengah terjadi ini, sebuah sejarah masa depan ditorehkan. Tak hanya untuk Aceh, tapi juga rakyat Indonesia yang lain. Kalau perjajnjian ini bia dihasilkan sesuai yang dimaksud, semua rakyat, Tapi juga menentukan rakyat Indonesia yang lain.

Masyarakat Aceh adalah kaum perantau seperti dirinya, tukas Malik. Meskipun tubuhnya tak berada di wilayah konflik itu sejak puluhan tahun lalu, namun hati dan jiwanya senantiasa terpagut di tanah air Aceh. “Aceh adalah asal-usul saya. Kami sangat cinta, rindu dan segala hal mengenai Aceh sangat dalam dalam jiwa saya,” Malik mengungkapkan perasaannya.

Apalagi belakangan ini, perasaan rindu itu kian menyeruak di hati  petinggi GAM ini. “Saya terkenang dengan semua teman-teman yang telah berjuang di hutan-hutan. Banyak yang syahid (meninggal). Mereka adalah masyarakat yang penuh dedikasi untuk bangsanya,” tukasnya. Begitu juga dengan masyarakat Aceh yang sedang ada di perantauan, paparnya, bagi Malik, orang perantau seperti dirinya, merupakan orang orang tak sudi dijajah oleh bangsa lain. Mereka itu juga pejuang untuk menegakkan harkat dan martabat bangsa Aceh.

Karena itu, Malik terkenang saat salah satu televise swasta di Indonesia menayangkan tayangan interaktif antara dirinya, pemerintah Indonesia, dengan masyarakat Aceh secara langsung. “Saya merasa terharu, akan ketulusan dan kesabaran masyarakat Aceh dalam menghadapi semuanya. Karena itu, tekad saya semakin besar untuk saling mewujudkan kedamaian di bumi Aceh.”

Hal yang ingin dilakukan Malik apabila semua telah berjalan damai adalah mengumpulkan dan mengembangkan kekayaan budaya Aceh yang kini mulai sirna. “Peradaban tinggi suatu bangsa terletak pada budayanya. Aceh merupakan bangsa yang sangat kaya peradabannya. Bayangkan saja, di masa lalu, busana tradisional Aceh sudah sedemikian mewahnya, terbuat dari beludru yang pada masa itu harganya sudah sangat mahal. Bayangkan saja arsitektur Aceh yang semikian indah dan stylenya. Juga soal makanannya,” tuturnya menggebu-gebu.  “Saya ingin mengembangkan kembali kejayaan kebudayaan Aceh yang sudah banyak hilang itu,” ia menuturkan harapannya.


Suasana kian mengalir. Waktu meluncur tajam tak terasakan saat berkumpul bersama mereka. Tak ada satupun pengawal bersenjata laras panjang yang mengitari meja kami. Tak ada senjata yang terkokang di sepanjang perjalanan menuju markas GAM di Albi. Tak ada rompi anti peluru yang diletakkan di dalam ruangan itu. Yang ada hanyalah kehangatan suasana kekeluargaan, dengan secangkir the manis serta kue manis khas Swedia.

(Pemandangan ini tentu saja terasa mengejutkan bagi Media yang pada bulan Mei lalu sempat bertandang ke Aceh. Media dikawal oleh 38 pasukan dari kepolisian dan ABRI lengkap dengan senjata dan rompi anti peluru untuk menghindari serangan GAM di lapangan. Kondisi di lapangan pun terasa sangat mencekam. )

Meskipun yang mereka lakukan merupakan sebuah strategi mengadapi peperangan, namun tak satupun pemimpin terlihat dalam kondisi stress atau underpressure. Bukan berarti para pemimpin ini tidak memikirkannya, namun satu hal pasti dijaga oleh para pemimpin ini adalah managemen kondisi fisik dan psikologis para pemimpinnya dengan prima. Tak ada grusa-grusu (ceroboh), yang ada mengkomunikasikan satu hak dengan hal lain dengan sangat bijaksana.

Situasi ini terpotret ketika Media bersama mereka, beberapa kali kontak dilakukan dari lapangan. Lantas mereka membahasnya bersama-sama di meja tersebut. Malik memberikan instruksi balik ke lapangan (dengan bahasa Aceh tentunya, karena sifatnya sangat rahasia. Digital recorderpun harus dimatikan). Ia telah melakukan koordinasi secara serentak. (Rustika Nur Istiqomah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar