Malik Mahmud:
November 15,
2008 by rustika herlambang
Mengembalikan Kejayaan Budaya Aceh
malik mahmud
Mengenal
Malik Mahmud, bukanlah hal yang mudah. Kesan pertama yang timbul saat bertemu
Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ia adalah orang yang tegas,
agak kaku, dan penuh pertimbangan. Setiap kata-kata yang akan diluncurkan, dipikirkan
dengan dalam. Beberapa hal yang sangat sensitive, seperti soal Aceh, ia
terlihat sangat hati-hati dalam memberikan statement.
Beberapa
kali dalam wawancara awal dengan Media, ia tampak sedikit tegang.
“Saya harus
berhati-hati, karena masalah Aceh masih sangat sensitive. Sedikit perbedaan
persepsi, akan menimbulkan dampak yang sangat besar,” jelasnya. Tangan
kirinya berkali-kali mengusap-usap dahinya yang sudah mulai mengerut ,
sementara tangan kanannya memain-mainkan digital recorder mini milik Media yang
terletak di dekat tangan kirinya.
Tapi
ketegangan ini pelan-pelan meluruh. Setelah terlibat banyak percakapan, Malik
merupakan sosok yang hangat, perhatian dan menyenangkan. Seperti saat mengantar
Media kembali ke hotel, pria berambut tipis dan sedikit ikal ini terus
bercerita tentang segala rupa. Tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang
Hasan Tiro, tentang budaya Aceh yang kaya raya, tentang makanan Aceh dengan
imbuhan bumbu dari gaun ganja, dengan santai, ringan, dan menarik dengan bahasa
Indonesia yang sangat baik.
Tapi
lagi-lagi tak mudah untuk mengorek masa kecil pria yang empat tahun terakhir
ini tinggal di Swedia. Ia terlihat agak tertutup. Tak banyak diceritakannya
kecuali bahwa ia dilahirkan dari sebuah keluarga Aceh yang berpendidikan,
tinggal di perantauan, dan sangat kuat menjaga tradisi ke-aceh-annya.
Ayahnya
seorang tokoh pejuang Aceh, berasal dari daerah Aceh Besar, yang memiliki
hubungan persahabatan dengan Teungku Hasan Tiro, sang Pemimpin GAM. Banyak
keilmuan dan intelektualitas diturunkan ayahnya padanya. Salah satunya melalui
surat-surat politik dari rekan-rekan ayahnya yang selalu diminta untuk untuk
dibacakannya.
Selain itu,
karena pria Aceh kelahiran Singapura ini juga memiliki kemampuan dalam menulis,
iapun sering diminta untuk membalas seluruh surat-surat yang ditujukan untuk
Ayahnya. Tentu saja dengan dikte dari ayahnya. “Ayah saya sering meminta saya
membaca dan membalaskan surat-suratnya,” tukasnya sambil tersenyum mengingat
beragam kenangan di masa kecilnya.
Diantara
sekian banyak surat-surat yang mengalir untuk ayahnya di masa itu, hanya surat
Teungku Hasan Tirolah yang sangat berkenan di hatinya. “Saya suka sekali
membaca surat-surat Teungku Hasan. Beliau itu sangat hebat. Saya sangat
terkagum-kagun dengan tulisannya, meskipun saya belum pernah bertatap muka
sekalipun,” ungkap Malik membuka cerita perkenalannya dengan Hasan Tiro.
Apalagi
tuturnya, Hasan Tiro merupakan keturunan langsung tokoh Aceh yang sangat
disegani olehnya, Teuku Cik Di Tiro. “Sudah ada kedekatan emosional sejak
pertama kali saya membaca surat Teungku,” kisah Malik yang kini juga dipanggil
Teungku oleh para anggota GAM ini. Apalagi ketika itu ayahnya pernah berpesan
padanya, agar ia iku jejak langkah Hasan Tiro. “Ia bakal menjadi orang besar di
Aceh,” Malik menirukan kata-kata ayahnya.
Menurut
Malik, ada kepercayaan Aceh yang menyatakan bahwa darah pejuang akan mengalir
melalui keluarga tertentu yang berpengaruh, sepeti Tiro. Karena itulah rasa
hormat itu kian menumpuk di hati Malik, hingga ia memutuskan untuk bersumpah
setia mengikuti perjuangan Hasan Tiro.
Pertemuan
Malik dan Hasan secara langsung terjadi di tahun 1964. Tepatnya ketika Hasan
Tiro pulang dari Amerika dan langsung mendatangi kediaman keluarganya. “Kami
sekeluarga terkaget-kaget melihat kehadiran Hasan Tiro di rumah kami. Wajahnya
sangat karismatis dan intelek. Meskipun berpendidikan barat, namun soal
sopan-santun sangat dijaga. Bahkan terkesan sangat aristocrat. Iapun fasih
menggunakan bahasa Aceh yang sangat halus,” Malik mengungkapkan kekagumannya
pada sosok Hasan Tiro yang membuka wawasan berpikirnya.
Belum lagi
soal perilaku hangat dari pemimpin yang dikagumi ini terhadap keluarganya,
membuat Malik semakin yakin akan pilihannya untuk bergabung bersama Hasan Tiro.
“Ketika itu, ia langsung masuk ke dapur dan bertanya pada ibu saya tentang
masakan yang tengah dibuatnya,” pria bertubuh tinggi tegap ini mengingat
kisahnya. “Padahal beliau merupakan tamu kehormatan di rumah kami.” Sejak tahun
1964, ia resmi bergabung dengan Hasan Tiro, hingga kini.
Tak banyak
disinggung tentang pendidikan yang pernah dilaluinya. Ia memilih untuk
bercerita soal lain yang menurutnya “lebih esensial” untuk dibicarakan saat
ini.
Kini
Malik sudah “pindah” ke Swedia. Namun ia tidak melakukan kerja formal seperti
Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah. “saya full konsentrasi untuk GAM saja,”ia
menegaskan. “Kalau saya punya kerja tetap, nanti saya nggak ada waktu untuk
baca laporan sedemikian banyaknya,” ia tertawa lepas.
“Jangan
ditanya, beban saya sangat berat. Berat tanggung jawabnya.,” tuturnya tentang
tugasnya sebagai perdana menteri GAM saat ini. Setiap kebijakan yang
dikeluarkan olehnya akan memberi dampak yang sangat besar. “Apalagi sekarang
ini kan program darurat. Kalau aman, semuanya bisa lancer dan tertentu. Tapi
kita dalam kondisi perang, tukasnya taktis. Banyak hal yang sangat dalam
yang benar harus dipikirkan, karena selain memikir strategi perang, kami juga
memikir situasi rakyatnya. Itu semua menjadi beban yang harus ditanggungnya
saat ini. “Sejarah kelak akan mencatat, apa yang telah saya lakukan memberikan
manfaat atau justru merugikan suatu bangsa. Itulah yang sangat berat buat
saya,” nada suaranya memberat.
Tentang
proses perdamaian yang tengah terjadi saat ini, Malik Soal perdamaian yang
tengah terjadi ini, sebuah sejarah masa depan ditorehkan. Tak hanya untuk Aceh,
tapi juga rakyat Indonesia yang lain. Kalau perjajnjian ini bia dihasilkan
sesuai yang dimaksud, semua rakyat, Tapi juga menentukan rakyat Indonesia yang
lain.
Masyarakat
Aceh adalah kaum perantau seperti dirinya, tukas Malik. Meskipun tubuhnya tak
berada di wilayah konflik itu sejak puluhan tahun lalu, namun hati dan jiwanya
senantiasa terpagut di tanah air Aceh. “Aceh adalah asal-usul saya. Kami sangat
cinta, rindu dan segala hal mengenai Aceh sangat dalam dalam jiwa saya,” Malik
mengungkapkan perasaannya.
Apalagi
belakangan ini, perasaan rindu itu kian menyeruak di hati petinggi GAM
ini. “Saya terkenang dengan semua teman-teman yang telah berjuang di
hutan-hutan. Banyak yang syahid (meninggal). Mereka adalah masyarakat yang
penuh dedikasi untuk bangsanya,” tukasnya. Begitu juga dengan masyarakat Aceh
yang sedang ada di perantauan, paparnya, bagi Malik, orang perantau seperti
dirinya, merupakan orang orang tak sudi dijajah oleh bangsa lain. Mereka itu
juga pejuang untuk menegakkan harkat dan martabat bangsa Aceh.
Karena itu,
Malik terkenang saat salah satu televise swasta di Indonesia menayangkan
tayangan interaktif antara dirinya, pemerintah Indonesia, dengan masyarakat
Aceh secara langsung. “Saya merasa terharu, akan ketulusan dan kesabaran
masyarakat Aceh dalam menghadapi semuanya. Karena itu, tekad saya semakin besar
untuk saling mewujudkan kedamaian di bumi Aceh.”
Hal yang
ingin dilakukan Malik apabila semua telah berjalan damai adalah mengumpulkan
dan mengembangkan kekayaan budaya Aceh yang kini mulai sirna. “Peradaban tinggi
suatu bangsa terletak pada budayanya. Aceh merupakan bangsa yang sangat kaya
peradabannya. Bayangkan saja, di masa lalu, busana tradisional Aceh sudah
sedemikian mewahnya, terbuat dari beludru yang pada masa itu harganya sudah
sangat mahal. Bayangkan saja arsitektur Aceh yang semikian indah dan stylenya.
Juga soal makanannya,” tuturnya menggebu-gebu. “Saya ingin mengembangkan
kembali kejayaan kebudayaan Aceh yang sudah banyak hilang itu,” ia menuturkan
harapannya.
Suasana kian
mengalir. Waktu meluncur tajam tak terasakan saat berkumpul bersama mereka. Tak
ada satupun pengawal bersenjata laras panjang yang mengitari meja kami. Tak ada
senjata yang terkokang di sepanjang perjalanan menuju markas GAM di Albi. Tak
ada rompi anti peluru yang diletakkan di dalam ruangan itu. Yang ada hanyalah
kehangatan suasana kekeluargaan, dengan secangkir the manis serta kue manis
khas Swedia.
(Pemandangan
ini tentu saja terasa mengejutkan bagi Media yang pada bulan Mei lalu sempat
bertandang ke Aceh. Media dikawal oleh 38 pasukan dari kepolisian dan ABRI
lengkap dengan senjata dan rompi anti peluru untuk menghindari serangan GAM di
lapangan. Kondisi di lapangan pun terasa sangat mencekam. )
Meskipun
yang mereka lakukan merupakan sebuah strategi mengadapi peperangan, namun tak
satupun pemimpin terlihat dalam kondisi stress atau underpressure. Bukan
berarti para pemimpin ini tidak memikirkannya, namun satu hal pasti dijaga oleh
para pemimpin ini adalah managemen kondisi fisik dan psikologis para
pemimpinnya dengan prima. Tak ada grusa-grusu (ceroboh), yang ada
mengkomunikasikan satu hak dengan hal lain dengan sangat bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar