BANDA ACEH - DPRA mengesahkan
Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe menjadi Qanun Wali Nanggroe pada
Jumat (2/11) sore dalam Sidang Paripurna III di Gedung Utama DPRA.
Dengan demikian, silang pendapat
di kalangan fraksi-fraksi DPRA yang sempat mewarnai pembahasan
rancangan qanun tersebut, berakhir sudah. Terlebih karena, berbagai
saran tambahan yang muncul di babak akhir pembahasan, telah disepakati
dalam pertemuan padu serasi antara tim legislatif dan eksekutif sore
itu.
Sidang pengesahan qanun/perda
monumental dan hanya satu-satunya di Indonesia itu dipimpin Wakil Ketua
II DPRA, Drs H Sulaiman Abda MSi, didampingi Wakil Ketua I DPRA, Amir
Helmi SH.
Catatan Serambi Indonesia, di
antara klausul yang selama ini ramai diperdebatkan adalah soal fasih
berbahasa Aceh bagi calon WN. Poin ini dikritisi karena di dalam raqan
tidak diperinci bahasa Aceh mana yang dimaksud, mengingat di Aceh
sendiri terdapat 13 bahasa, termasuk bahasa Gayo, Tamiang, Kluet, dan
Anuek Jamee.
Poin lain yang juga banyak
disorot adalah tentang tak dijadikannya uji tes baca Quran sebagai
syarat pencalonan seorang WN. Padahal, di Aceh, untuk menjadi caleg,
cabup, dan cagub saja pun diberlakukan persyaratan harus lulus tes baca
Quran.
Kedua hal yang ramai
dipersoalkan itu, akhirnya dijawab dengan tangkas oleh Drs Sulaiman Abda
MSi selaku Ketua Pimpinan Sidang Paripurna III DPRA. Inilah jawabannya
saat dikonfirmasi Serambi di Banda Aceh, Minggu (4/11) kemarin,
“Perbedaan mengenai bahasa dan syarat uji baca Alquran untuk calon WN
dan personelnya, telah diselesaikan dalam rapat padu serasi antara tim
legislatif dan eksekutif Jumat sore di Ruang Badan Musyawarah DPRA,
sebelum Qanun WN itu kita sahkan.”
Diakuinya bahwa Fraksi Partai
Demokrat, Partai Golkar, dan PPP/PKS, sempat mempertanyakan bahasa Aceh
mana yang akan dijadikan persyaratan bagi calon WN. Jawabannya adalah
semua bahasa Aceh yang hidup dan terdapat di Aceh, termasuk bahasa Gayo
dan lainnya. Konsensus itu dicapai, kata Sulaiman Abda, dalam rapat padu
serasi yang dia pimpin, antara eksekutif dan legislatif.
Konsekuensi dari konsensus ini,
kata Sulaiman Abda, maka jika nanti ada calon WN dari Aceh Tengah, maka
persyaratannya adalah ia harus bisa berbahasa Gayo dengan fasih dan
memenuhi syarat lain untuk mencalonkan diri sebagai WN, begitu juga
calon WN dari daerah lain.
Mengenai syarat seorang calon WN
harus mampu membaca Quran dengan baik dan benar, kata Sulaiman Abda,
dalam rapat padu serasi Jumat sore itu semua fraksi menyepakati kembali
bahwa poin itu tidak dijadikan sebagai syarat, dengan alasan calon WN
itu adalah orang pilihan, jadi tidak mungkinlah ia tidak bisa membaca
Quran.
“Malah kalau kita bikin
persyaratan itu, sama artinya kita kurang percaya dan tidak menghargai
kelembagaan Wali Nanggroe tersebut,” cetus Sulaiman Abda.
Dengan disahkannya Raqan WN itu,
kata Sulaiman Abda, maka secara otomatis, Waliyul ‘Ahdi Aceh setelah
Wali Nanggroe Ke-8, yakni Dr Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggal,
adalah Teungku Malik Mahmud Al-Haytar. Maka saat ini, dialah yang berhak
ditetapkan sebagai Wali Nanggroe Ke-9.
Penjelasan tentang hal ini
dituangkan dalam Bab X Ketentuan Peralihan, yakni Pasal 131 ayat (5) dan
ayat (6) Qanun Wali Nanggroe. Ini artinya, kata Sulaiman Abda, setelah
qanun ini nanti disetujui Kemendagri dan diundangkan dalam lembaran
daerah, maka tidak akan ada pemilihan WN yang baru, melainkan tinggal
melakukan pengambilan sumpah Tgk Malik Mahmud saja dalam sebuah acara
adat di hadapan Komisi Pemilihan Wali Nanggroe, tamu undangan, dan
khalayak ramai.
Dalam qanun baru itu juga diatur
masa jabatan Wali Nanggroe, yakni tujuh tahun. Sebelum masa jabatan itu
habis, ia bisa diganti apabila meninggal dunia, mengundurkan diri,
murtad, atau zalim yang dibuktikan dengan putusan majelis mufti, atau
uzur yang dibuktikan dengan putusan Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe,
dan melanggar syarat wali sebagai mana dalam Pasal 69 yang dibuktikan
dengan putusan Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe.
Jabatan Wali Nanggroe
sebagaimana diatur dalam ayat 1 tadi, bisa dijabat oleh Waliyul ‘Ahdi
dan ditetapkan menjadi Wali Nanggroe dan pilih kembali sampai masa
jabatannya berakhir tujuh tahun.
Wali Nanggroe, Waliyul ‘Ahdi,
Majelis Tinggi, dan Majelis Fungsional Kelembagaan Wali Nanggroe,
diberikan tunjangan atas kedudukannya yang bersumber dari APBA.
Sumber: SERAMBI INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar