MALAM semakin gelap. Udara dingin menusuk setiap orang di bibir pantai
Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober 1976),
Hasan Tiro mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri di
Amerika Serikat (AS).
Dari pantai, malam itu juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya menuju
hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB (Minggu
31 Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda didirikan
sebagai markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.
Satu bulan sudah Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu, diputuskan
untuk pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan Tiro.
Panton Weng adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas gerilyawan
sejak 100 tahun silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu
mempertahankan harkat dan martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda.
Orang-orang percaya di tempat itu "ada penjaganya" yaitu dua harimau.
Pergi ke kawasan Tiro dilakukan atas berbagai pertimbangan. Pertama,
Hasan Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang datang ke
Panton Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh menyerang,
sangat sulit memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro, Tengku Tjhik
Umar di Tiro mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma, untuk
menjemput Hasan Tiro dan membawanya pulang ke Tiro.
Perjalanan dari Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka. Di
bagian depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan Tiro.
Sedangkan di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus hutan
yang penuh belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak
bila suatu saat musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai
di kawasan Tiro. Itu merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk
membuktikan kekuatan fisiknya.
Pukul 17.00, perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan, tidak
boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan
plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke
kawasan Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan
Hasan Tiro saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia
terjatuh. Untung Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap
Hasan Tiro sehingga tidak jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam
pikirannya masa-masa indah ia berjalan di Fifth Avenue, New York. "Apa
yang saya lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya sendiri. Waktu
itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika tiba di kawasan
Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi missinya. Di
sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Banyak tokoh
masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur menemuinya.
Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat penghormatan.
Tangannya dicium ketika berjabat.
Terakhir, Hasan Tiro bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia memutuskan
memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu moment
historis menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di Tiro
--pemimpin terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran
sengit di Alue Bhot, Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah
diumumkan kepada dunia. Hasan Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di
hutan.
PROKLAMASI kemerdekaan Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di Bukit
Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga diumumkan
pada hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para menteri
tertunda sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali Neugara
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Setelah diumumkannya proklamasi, utusan berbagai daerah datang siang dan
malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan, ada wakil
datang dari luar Aceh.
Di pihak lain, operasi intelijen semakin gencar dilancarkan pemerintah
terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin melancarkan
serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke kamp yang
banyak tersebar di hutan.
Pada 10 April 1977, Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal pribadi
Hasan Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di Desa
Blang Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah sedih.
Hasan Tiro memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat
lengang. Geutjhik Uma hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua
telapak tangan. Sesuatu telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung
tentara.
"Geutjhik Uma, kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan menyerah!"
perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma sangat
terkejut karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.
"Geutjhik Uma, cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam
rumah!" terdengar lagi perintah. "Saya akan keluar dengan anak dan istri
saya. Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.
Lalu, ia meminta anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar keluar
lebih dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan memastikan
tidak diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat pintu
belakang sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin
seorang musuh berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia
menembak tangan saya! Dia menembak tangan saya! Toloong...!!"
Geutjhik Uma berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima jam
untuk mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui
dengan menghilangkan jejak dari para pengejarnya.
Usai bercerita insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro hanya bisa
menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan
pengawalnya sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota
keluargamu yang cidera, tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang
kamu lakukan adalah tindakan benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar
Hasan Tiro kepada anak buah yang selalu setia mengawalnya.
Insiden di Blang Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat.
Bahkan, ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat
antara tentara dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang
melibatkan tank. "Rumor menjadi bagian dari realita di tengah
masyarakat," sebut Hasan Tiro dalam catatan hariannya. Demi alasan
keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro dipindahkan ke tempat lain lagi.
Setelah mendapat laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai mengampanyekan
kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka sebagai "teroris,
bandit, fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks proklamasi dalam
bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu disebarkan ke seluruh
Aceh dan bahkan ke luar negeri.
Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat Aceh
selalu mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai di
mana sudah perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang
kejayaan Aceh di masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara
khusus dan khidmat. Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari
Pahlawan. Hari itu diambil dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang
Bandar Aceh ketika melawan Belanda. "Banyak generasi muda Aceh yang
melupakan pertempuran hebat pada 1873 itu padahal pers dunia menurunkan
kekalahan Belanda sebagai berita utama," tulis Hasan Tiro. Tahun 1977,
Hari Pahlawan diperingati di kamp Krueng Agam. Perayaan dimulai dengan
mengibar bendera Aceh yang diiringi suara azan.
Mendirikan Universitas Aceh
AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis untuk
melawan Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya
di tengah masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para pengikut NLFAS
dilancarkan. Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk kaum wanita dan
anak-anak, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa lewat proses
pengadilan. Banyak tahanan yang disiksa.
NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka dicap
sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan hariannya
yang tak selesai ini tidak merasa kecewa.
Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel Anang Sjamsudin,
menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih dikenal
Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan melalui
selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan agar
Anang kembali ke daerahnya.
Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto pemimpin
gerakan itu -- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi,
Ilyas Leube, Dr Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan Dr
Zubir Mahmud -- disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta menangkap
hidup atau mati kesembilan tokoh itu. Tanggal 4 September 1977
merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan Tiro. Ia tak pernah berpikir
bakal merayakannya dalam belantara di Kamp Alue Puasa. Hasan Tiro
memikirkan tentang kejadian setahun silam ketika ia memulai perjalanan
pulang ke Aceh dengan meninggalkan anak dan istrinya di tengah kemegahan
Kota New York. "Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun dari kemajuan,
atau frustrasi, atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat menjawabnya
nanti," kata Hasan Tiro pada dirinya sendiri.
Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan untuk
mendirikan "Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon
(Teupin Raya). Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula
rektor pertama "Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa
fakultas yang dibuka. Di antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi
Masyarakat, Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah
pertama diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti sekitar 50
"mahasiswa". Mereka adalah 10 persen dokter, 10 persen insinyur, 15
persen ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan 5 persen
dari kalangan nelayan dan pendaki gunung. Mereka inilah yang akan
menjadi kader NLFAS di masa mendatang. Kampus ini sangat terjaga. Hasan
Tiro mengorganisir kuliah dalam tiga bagian: Hubungan Internasional,
Politik, Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi
Pembebasan Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga
bagian: hukum internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB
dan bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain-
lain), dan sejarah diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan
Islam.
Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan
beberapa negara lain termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal
"Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan
bentuk-bentuk pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari
adalah kapitalis, sosialis, dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih
difokuskan kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu
teori ekonomi dengan yang lain. Itulah sebabnya diajarkan berbagai
bentuk sistem ekonomi.
Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan
analisis untuk mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional,
Organisasi-organisasi Internasional. Karena tak memiliki buku-buku yang
cukup di "Kampus Gunung Alimon", Hasan Tiro berusaha menguatkan
memorinya tentang ilmu yang pernah ia pelajari di AS. Kuliah berlangsung
setiap hari mulai pukul 8:00 hingga 12:00. Antara pukul 13:00 hingga
17:00. Mahasiswa kemudian membuat rangkuman. Pada malam hari, diadakan
acara tanya-jawab untuk mendiskusikan bahan kuliah yang diberikan dan
membahas tentang tugas-tugas.
Proses belajar mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa ada
gangguan dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat
wisuda diadakan pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap
mahasiswa mendapat sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia
adalah rektor. Tentu saja ijazah yang diberikan kepada para lulusan
tidak sama seperti yang diterima Hasan Tiro dari universitas di AS.
(Bersambung)
Senin, 05 November 2012
Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (1)
aHARI itu, 4 September 1976. Satu pesawat meninggalkan New York, Amerika
Serikat (AS). Seorang penumpangnya adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Penerbangan itu menempuh rute Seattle - Tokyo - Hongkong, dan
wilayah-wilayah Asia Selatan lainnya. Itulah perjalanan yang membawa
Hasan Tiro pulang ke Aceh untuk mewujudkan impiannya, "Memimpin rakyat
dan negara saya". Dalam pesawat, pikiran Hasan Tiro menerawang jauh.
Namun, ia pun dapat melupakan semua kemewahan di tempat "pengasingan".
Anak satu-satunya dan istri tercinta yang cantik jelita, dengan berat
hati harus berpisah.
Meski pun berada dalam pengintaian pemerintah Indonesia, selama di AS, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis. Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ia mengecualikan Indonesia. Ia menghindar berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS. Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan. Hasan Tiro punya hubungan kerjasama dengan beberapa perusahan itu.
Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.
Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu. Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi. Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro. Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya. Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.
Hasan Tiro tidak pernah mencampur urusan bisnis dengan politik. Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak pengusaha di pengasingan itu. Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera. Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka. Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.
Pesawat terus membawa Hasan Tiro semakin dekat dengan Aceh. Ia teringat mati ketika melongo ke bawah. Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa, tapi belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.
Lalu, pikirannya teringat akan musibah yang pernah dialaminya. Suatu ketika di puncak Pegunungan Rianier, jet berkapasitas empat orang mesinnya tiba-tiba mati mendadak. Hasan Tiro dan rekan bisnisnya, DC, duduk di depan. Di bagian belakang duduk VDL dan MP. DC adalah pemilik perusahaan pesawat terbesar di dunia kala itu. Ia juga mantan pilot yang sangat handal.
Tujuan perjalanan mereka adalah meneliti satu kawasan di Oregon.
Hasan Tiro berdoa kepada Allah agar ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah. Ia bahkan bernazar. Jika selamat akan segera pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46. Hasan Tiro dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle.
Nazar yang diucapkan Hasan Tiro tidak diurungkannya lagi. Namun yang sangat berat baginya untuk melaksanakan tugas "membebaskan Aceh dari penjajahan" adalah harus meninggalkan keluarganya. Ia harus meninggalkan bocah laki-lakinya semata wayang, Karim, yang saat itu baru berusia enam tahun. Ia juga terpaksa membiarkan istrinya, Dora, kesepian di tengah keramaian Kota New York.
Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemanapun dia pergi, Karim selalu dibawa. Karim mendapat tempat istimewa dalam unfinished diary. Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.
Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun. Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itupun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.
Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting.
Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain. Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Hasan Tiro.
Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau. Tapi, kini pesawat telah tiba di sebuah negara Asia, Hasan Tiro mengatur rencana agar dapat masuk ke Aceh. Selama beberapa pekan, ia memantapkan rencananya. Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.
(Bersambung
Meski pun berada dalam pengintaian pemerintah Indonesia, selama di AS, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis. Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ia mengecualikan Indonesia. Ia menghindar berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS. Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan. Hasan Tiro punya hubungan kerjasama dengan beberapa perusahan itu.
Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.
Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu. Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi. Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro. Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya. Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.
Hasan Tiro tidak pernah mencampur urusan bisnis dengan politik. Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak pengusaha di pengasingan itu. Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera. Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka. Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.
Pesawat terus membawa Hasan Tiro semakin dekat dengan Aceh. Ia teringat mati ketika melongo ke bawah. Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa, tapi belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.
Lalu, pikirannya teringat akan musibah yang pernah dialaminya. Suatu ketika di puncak Pegunungan Rianier, jet berkapasitas empat orang mesinnya tiba-tiba mati mendadak. Hasan Tiro dan rekan bisnisnya, DC, duduk di depan. Di bagian belakang duduk VDL dan MP. DC adalah pemilik perusahaan pesawat terbesar di dunia kala itu. Ia juga mantan pilot yang sangat handal.
Tujuan perjalanan mereka adalah meneliti satu kawasan di Oregon.
Hasan Tiro berdoa kepada Allah agar ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah. Ia bahkan bernazar. Jika selamat akan segera pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46. Hasan Tiro dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle.
Nazar yang diucapkan Hasan Tiro tidak diurungkannya lagi. Namun yang sangat berat baginya untuk melaksanakan tugas "membebaskan Aceh dari penjajahan" adalah harus meninggalkan keluarganya. Ia harus meninggalkan bocah laki-lakinya semata wayang, Karim, yang saat itu baru berusia enam tahun. Ia juga terpaksa membiarkan istrinya, Dora, kesepian di tengah keramaian Kota New York.
Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemanapun dia pergi, Karim selalu dibawa. Karim mendapat tempat istimewa dalam unfinished diary. Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.
Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun. Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itupun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.
Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting.
Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain. Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Hasan Tiro.
Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau. Tapi, kini pesawat telah tiba di sebuah negara Asia, Hasan Tiro mengatur rencana agar dapat masuk ke Aceh. Selama beberapa pekan, ia memantapkan rencananya. Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.
(Bersambung
Malek Mahmud Wali Ke-9
BANDA ACEH - DPRA mengesahkan
Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe menjadi Qanun Wali Nanggroe pada
Jumat (2/11) sore dalam Sidang Paripurna III di Gedung Utama DPRA.
Dengan demikian, silang pendapat
di kalangan fraksi-fraksi DPRA yang sempat mewarnai pembahasan
rancangan qanun tersebut, berakhir sudah. Terlebih karena, berbagai
saran tambahan yang muncul di babak akhir pembahasan, telah disepakati
dalam pertemuan padu serasi antara tim legislatif dan eksekutif sore
itu.
Sidang pengesahan qanun/perda
monumental dan hanya satu-satunya di Indonesia itu dipimpin Wakil Ketua
II DPRA, Drs H Sulaiman Abda MSi, didampingi Wakil Ketua I DPRA, Amir
Helmi SH.
Catatan Serambi Indonesia, di
antara klausul yang selama ini ramai diperdebatkan adalah soal fasih
berbahasa Aceh bagi calon WN. Poin ini dikritisi karena di dalam raqan
tidak diperinci bahasa Aceh mana yang dimaksud, mengingat di Aceh
sendiri terdapat 13 bahasa, termasuk bahasa Gayo, Tamiang, Kluet, dan
Anuek Jamee.
Poin lain yang juga banyak
disorot adalah tentang tak dijadikannya uji tes baca Quran sebagai
syarat pencalonan seorang WN. Padahal, di Aceh, untuk menjadi caleg,
cabup, dan cagub saja pun diberlakukan persyaratan harus lulus tes baca
Quran.
Kedua hal yang ramai
dipersoalkan itu, akhirnya dijawab dengan tangkas oleh Drs Sulaiman Abda
MSi selaku Ketua Pimpinan Sidang Paripurna III DPRA. Inilah jawabannya
saat dikonfirmasi Serambi di Banda Aceh, Minggu (4/11) kemarin,
“Perbedaan mengenai bahasa dan syarat uji baca Alquran untuk calon WN
dan personelnya, telah diselesaikan dalam rapat padu serasi antara tim
legislatif dan eksekutif Jumat sore di Ruang Badan Musyawarah DPRA,
sebelum Qanun WN itu kita sahkan.”
Diakuinya bahwa Fraksi Partai
Demokrat, Partai Golkar, dan PPP/PKS, sempat mempertanyakan bahasa Aceh
mana yang akan dijadikan persyaratan bagi calon WN. Jawabannya adalah
semua bahasa Aceh yang hidup dan terdapat di Aceh, termasuk bahasa Gayo
dan lainnya. Konsensus itu dicapai, kata Sulaiman Abda, dalam rapat padu
serasi yang dia pimpin, antara eksekutif dan legislatif.
Konsekuensi dari konsensus ini,
kata Sulaiman Abda, maka jika nanti ada calon WN dari Aceh Tengah, maka
persyaratannya adalah ia harus bisa berbahasa Gayo dengan fasih dan
memenuhi syarat lain untuk mencalonkan diri sebagai WN, begitu juga
calon WN dari daerah lain.
Mengenai syarat seorang calon WN
harus mampu membaca Quran dengan baik dan benar, kata Sulaiman Abda,
dalam rapat padu serasi Jumat sore itu semua fraksi menyepakati kembali
bahwa poin itu tidak dijadikan sebagai syarat, dengan alasan calon WN
itu adalah orang pilihan, jadi tidak mungkinlah ia tidak bisa membaca
Quran.
“Malah kalau kita bikin
persyaratan itu, sama artinya kita kurang percaya dan tidak menghargai
kelembagaan Wali Nanggroe tersebut,” cetus Sulaiman Abda.
Dengan disahkannya Raqan WN itu,
kata Sulaiman Abda, maka secara otomatis, Waliyul ‘Ahdi Aceh setelah
Wali Nanggroe Ke-8, yakni Dr Teungku Hasan Muhammad di Tiro meninggal,
adalah Teungku Malik Mahmud Al-Haytar. Maka saat ini, dialah yang berhak
ditetapkan sebagai Wali Nanggroe Ke-9.
Penjelasan tentang hal ini
dituangkan dalam Bab X Ketentuan Peralihan, yakni Pasal 131 ayat (5) dan
ayat (6) Qanun Wali Nanggroe. Ini artinya, kata Sulaiman Abda, setelah
qanun ini nanti disetujui Kemendagri dan diundangkan dalam lembaran
daerah, maka tidak akan ada pemilihan WN yang baru, melainkan tinggal
melakukan pengambilan sumpah Tgk Malik Mahmud saja dalam sebuah acara
adat di hadapan Komisi Pemilihan Wali Nanggroe, tamu undangan, dan
khalayak ramai.
Dalam qanun baru itu juga diatur
masa jabatan Wali Nanggroe, yakni tujuh tahun. Sebelum masa jabatan itu
habis, ia bisa diganti apabila meninggal dunia, mengundurkan diri,
murtad, atau zalim yang dibuktikan dengan putusan majelis mufti, atau
uzur yang dibuktikan dengan putusan Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe,
dan melanggar syarat wali sebagai mana dalam Pasal 69 yang dibuktikan
dengan putusan Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe.
Jabatan Wali Nanggroe
sebagaimana diatur dalam ayat 1 tadi, bisa dijabat oleh Waliyul ‘Ahdi
dan ditetapkan menjadi Wali Nanggroe dan pilih kembali sampai masa
jabatannya berakhir tujuh tahun.
Wali Nanggroe, Waliyul ‘Ahdi,
Majelis Tinggi, dan Majelis Fungsional Kelembagaan Wali Nanggroe,
diberikan tunjangan atas kedudukannya yang bersumber dari APBA.
Sumber: SERAMBI INDONESIA
Membongkar Perjuangan Hasan Tiro
a
Buku setebal 266 halaman itu ditulis Hasan Tiro selama enam tahun bergerilya di rimba Aceh. Pertama kali ia pulang ke Aceh pada Sabtu, 30 Oktober 1976. Hari itu ia tiba di Kuala Tari, Pasi Lhok, Sebuah desa nelayan, Kabupaten Pidie sekitar pukul 08.30 pagi, setelah 25 tahun menetap di Amerika. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Halimon, Pidie.
“Itu adalah malam pertama di tanah airku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984.
Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal, yakni “Memerdekakan Aceh”.
“Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.
"Hanya orang gila dan dungu yang percaya bahwa aku tak akan kembali lagi". Itulah sebuah penegasan Hasan Tiro pada 28 Maret 1979 silam dalam The Prince of Freedom: The Unfinished Diary.
Satu bulan berada di hutan, Hasan Tiro mulai menyusun segala strategi gerilya. Puncaknya pada tanggal 4 Desember 1976, saat ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di Gunung Halimon, Pidie.
Hasan Tiro punya alasan dalam memilih tanggal 4 Desember sebagai hari deklarasi. Menurutnya, tanggal tersebut punya landasan historis dan simbolis. Pada tanggal 3 Desember 1911 Tengku Chik Maat di Tiro sebagai pemimpin pejuang Aceh melawan Belanda syahid dalam peperangan dengan Belanda di Alue Bhot, Tangse, Pidie.
Dengan terbunuhnya Maat di Tiro, Belanda mengklaim Aceh telah kalah dan menetapkan tanggal 4 Desember sebagai hari runtuhnya Aceh. Tiro membantah anggapan itu. Dia mengatakan, perjuangan Maat di Tiro diteruskan kembali oleh orang-orang yang selamat dalam pertempuran di Alue Bhot. Tengku Chik Maat di Tiro adalah paman Hasan Tiro.
Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya.
Tahun pertama GAM, pengikut-pengikut Hasan Tiro kebanyakan dari keluarga Tiro sendiri dan beberapa mantan pengikut Teungku Daud Beureueh. Angkatan pertama seperti Teungku M Daud Husin (Daud Paneuk), Teungku Taleb, Usman Lampoh Awe, Zaini Abdullah dan Ilyas Leubee.
Dari bekas pengikut Daud Beureueh, ada Malik Mahmud Al-Haytar, anak dari pengikut setia Abu Daud Bereueh, Mahmud Al-Haytar. Malik mau bergabung dengan Aceh Merdeka karena punya ikatan sejarah dan emosional.
Hasan Tiro pernah memberikan ceramah kepada pengikutnya pada tanggal 11 Februari 1977. Di hadapan pengikut GAM di sebuah bukit, Hasan Tiro membakar semangat para pejuang dengan ceramahnya tentang tanah Aceh. Ia menyebut Aceh sebagai warisan leluhur yang harus dipertahankan, tanpa mengakui nama lain.
Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan..
Catatan: Teks di atas merupakan paragraph pertama dari Deklarasi Kemerdekaan Aceh yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai berikut:
Siapakah Hasan Tiro?
Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di desa tanjong Bungong, Tiro 25 September 1925. Pada tahun 1945 ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia Mendapat beasiswa melanjutkan kuliah pada fakultas hukum, Universitas Columbia.
Sambil kuliah bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University.
Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom. Dan pada tahun 1973, Dia diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia.
Pada tanggal 1 September 1954 ia mengirim surat terbuka kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo memprotes tindakan militer pemerintah pusat menangani pemberontakan DI/TII di Aceh dan sejumlah provinsi lain di Indonesia, Dan Memprotes tragedi pembunuhan massal di Pulot-Cot Jeumpa Februari 1955. Bulan Maret 1955 dia Mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia meminta untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955.
Pengalaman Organisasi
Karya-karya
Pandangan Politik Hasan Tiro
Jika dilihat dari riwayat pendidikannya, Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang aktif dan Nasionalis pro-Indonesia. Namun, pandangan politik Hasan mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar dan membunuh massal pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri.
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB.
Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pertama berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan kubu komunis.
Di tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi di saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo dilumpuhkah. Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di belantara Sulawesi tahun 1965.
Adalah Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin, yang berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani antara lain komandan pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Menurut Serambi Indonesia (25/9) setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun.
Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin memuncak setelah Syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureueh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat.
Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali menginjak Aceh, 11 Oktober 2008 silam. Allah (swt) mengabulkan doanya menghembuskan nafas yang terakhir di tanah kelahirannya sendiri. Selamat jalan Wali ...s
“...Saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan bisa mengatur dirinya sendiri...”
Buku setebal 266 halaman itu ditulis Hasan Tiro selama enam tahun bergerilya di rimba Aceh. Pertama kali ia pulang ke Aceh pada Sabtu, 30 Oktober 1976. Hari itu ia tiba di Kuala Tari, Pasi Lhok, Sebuah desa nelayan, Kabupaten Pidie sekitar pukul 08.30 pagi, setelah 25 tahun menetap di Amerika. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Halimon, Pidie.
“Itu adalah malam pertama di tanah airku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984.
Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal, yakni “Memerdekakan Aceh”.
“Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.
"Hanya orang gila dan dungu yang percaya bahwa aku tak akan kembali lagi". Itulah sebuah penegasan Hasan Tiro pada 28 Maret 1979 silam dalam The Prince of Freedom: The Unfinished Diary.
Satu bulan berada di hutan, Hasan Tiro mulai menyusun segala strategi gerilya. Puncaknya pada tanggal 4 Desember 1976, saat ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di Gunung Halimon, Pidie.
Hasan Tiro punya alasan dalam memilih tanggal 4 Desember sebagai hari deklarasi. Menurutnya, tanggal tersebut punya landasan historis dan simbolis. Pada tanggal 3 Desember 1911 Tengku Chik Maat di Tiro sebagai pemimpin pejuang Aceh melawan Belanda syahid dalam peperangan dengan Belanda di Alue Bhot, Tangse, Pidie.
Dengan terbunuhnya Maat di Tiro, Belanda mengklaim Aceh telah kalah dan menetapkan tanggal 4 Desember sebagai hari runtuhnya Aceh. Tiro membantah anggapan itu. Dia mengatakan, perjuangan Maat di Tiro diteruskan kembali oleh orang-orang yang selamat dalam pertempuran di Alue Bhot. Tengku Chik Maat di Tiro adalah paman Hasan Tiro.
“Saya sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.” The Price of Freedom: The Unifinished of Diary
Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya.
Tahun pertama GAM, pengikut-pengikut Hasan Tiro kebanyakan dari keluarga Tiro sendiri dan beberapa mantan pengikut Teungku Daud Beureueh. Angkatan pertama seperti Teungku M Daud Husin (Daud Paneuk), Teungku Taleb, Usman Lampoh Awe, Zaini Abdullah dan Ilyas Leubee.
Dari bekas pengikut Daud Beureueh, ada Malik Mahmud Al-Haytar, anak dari pengikut setia Abu Daud Bereueh, Mahmud Al-Haytar. Malik mau bergabung dengan Aceh Merdeka karena punya ikatan sejarah dan emosional.
Hasan Tiro pernah memberikan ceramah kepada pengikutnya pada tanggal 11 Februari 1977. Di hadapan pengikut GAM di sebuah bukit, Hasan Tiro membakar semangat para pejuang dengan ceramahnya tentang tanah Aceh. Ia menyebut Aceh sebagai warisan leluhur yang harus dipertahankan, tanpa mengakui nama lain.
Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan..
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…” The Price of Freedom: The Unifinished of Diary.
Catatan: Teks di atas merupakan paragraph pertama dari Deklarasi Kemerdekaan Aceh yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai berikut:
“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java. Our fatherland, Acheh, Sumatra, had always been a free and independent Sovereign State since the world begun…” The Price of Freedom: The Unifinished of Diary.
Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di desa tanjong Bungong, Tiro 25 September 1925. Pada tahun 1945 ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia Mendapat beasiswa melanjutkan kuliah pada fakultas hukum, Universitas Columbia.
Sambil kuliah bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University.
Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom. Dan pada tahun 1973, Dia diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia.
Pada tanggal 1 September 1954 ia mengirim surat terbuka kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo memprotes tindakan militer pemerintah pusat menangani pemberontakan DI/TII di Aceh dan sejumlah provinsi lain di Indonesia, Dan Memprotes tragedi pembunuhan massal di Pulot-Cot Jeumpa Februari 1955. Bulan Maret 1955 dia Mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia meminta untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955.
Pengalaman Organisasi
- Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI)
- Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945
- Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara
- Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB
- Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra
- Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954
- Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
- Dianugerahi gelar Doktor Ilmu Hukum University of Plano,Texas
- Lulusan University Columbia dan Fordam University di New York
Karya-karya
- Mendirikan "Institut Aceh" di AS
- Dirut dari Doral International Ltd di New York
- Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan penerbangan
- Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law 1980
- The Price of Freedom: The Unfinished Diary
- Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia)
- Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno.
Pandangan Politik Hasan Tiro
Jika dilihat dari riwayat pendidikannya, Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang aktif dan Nasionalis pro-Indonesia. Namun, pandangan politik Hasan mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar dan membunuh massal pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri.
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB.
Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pertama berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan kubu komunis.
Di tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi di saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo dilumpuhkah. Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di belantara Sulawesi tahun 1965.
Adalah Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin, yang berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani antara lain komandan pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Foto diambil dari The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Beberapa saat sebelum Hasan Tiro kembali ke Aceh bulan Oktober 1976. Caption foto tertulis sebagai berikut: |
From right: Secretary General of the United Nations, Dr. Kurt Waldheim; Ambassador of France; H. H. Tengku Hasan di Tiro, President of Doral International Ltd. and Chairman of Atjeh Institute in America; Philippine Ambassador for the U.N. On the occasion of the signing of International Tin Agreement, 1976, at the United Nations Headquarters in New York. Photo by Gamma Diffusion, Paris.
Menurut Serambi Indonesia (25/9) setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun.
Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin memuncak setelah Syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureueh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat.
Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali menginjak Aceh, 11 Oktober 2008 silam. Allah (swt) mengabulkan doanya menghembuskan nafas yang terakhir di tanah kelahirannya sendiri. Selamat jalan Wali ...s
Malik Mahmud:Mengembalikan Kejayaan Budaya Aceh
Malik Mahmud:
November 15,
2008 by rustika herlambang
Mengembalikan Kejayaan Budaya Aceh
malik mahmud
Mengenal
Malik Mahmud, bukanlah hal yang mudah. Kesan pertama yang timbul saat bertemu
Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ia adalah orang yang tegas,
agak kaku, dan penuh pertimbangan. Setiap kata-kata yang akan diluncurkan, dipikirkan
dengan dalam. Beberapa hal yang sangat sensitive, seperti soal Aceh, ia
terlihat sangat hati-hati dalam memberikan statement.
Beberapa
kali dalam wawancara awal dengan Media, ia tampak sedikit tegang.
“Saya harus
berhati-hati, karena masalah Aceh masih sangat sensitive. Sedikit perbedaan
persepsi, akan menimbulkan dampak yang sangat besar,” jelasnya. Tangan
kirinya berkali-kali mengusap-usap dahinya yang sudah mulai mengerut ,
sementara tangan kanannya memain-mainkan digital recorder mini milik Media yang
terletak di dekat tangan kirinya.
Tapi
ketegangan ini pelan-pelan meluruh. Setelah terlibat banyak percakapan, Malik
merupakan sosok yang hangat, perhatian dan menyenangkan. Seperti saat mengantar
Media kembali ke hotel, pria berambut tipis dan sedikit ikal ini terus
bercerita tentang segala rupa. Tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang
Hasan Tiro, tentang budaya Aceh yang kaya raya, tentang makanan Aceh dengan
imbuhan bumbu dari gaun ganja, dengan santai, ringan, dan menarik dengan bahasa
Indonesia yang sangat baik.
Tapi
lagi-lagi tak mudah untuk mengorek masa kecil pria yang empat tahun terakhir
ini tinggal di Swedia. Ia terlihat agak tertutup. Tak banyak diceritakannya
kecuali bahwa ia dilahirkan dari sebuah keluarga Aceh yang berpendidikan,
tinggal di perantauan, dan sangat kuat menjaga tradisi ke-aceh-annya.
Ayahnya
seorang tokoh pejuang Aceh, berasal dari daerah Aceh Besar, yang memiliki
hubungan persahabatan dengan Teungku Hasan Tiro, sang Pemimpin GAM. Banyak
keilmuan dan intelektualitas diturunkan ayahnya padanya. Salah satunya melalui
surat-surat politik dari rekan-rekan ayahnya yang selalu diminta untuk untuk
dibacakannya.
Selain itu,
karena pria Aceh kelahiran Singapura ini juga memiliki kemampuan dalam menulis,
iapun sering diminta untuk membalas seluruh surat-surat yang ditujukan untuk
Ayahnya. Tentu saja dengan dikte dari ayahnya. “Ayah saya sering meminta saya
membaca dan membalaskan surat-suratnya,” tukasnya sambil tersenyum mengingat
beragam kenangan di masa kecilnya.
Diantara
sekian banyak surat-surat yang mengalir untuk ayahnya di masa itu, hanya surat
Teungku Hasan Tirolah yang sangat berkenan di hatinya. “Saya suka sekali
membaca surat-surat Teungku Hasan. Beliau itu sangat hebat. Saya sangat
terkagum-kagun dengan tulisannya, meskipun saya belum pernah bertatap muka
sekalipun,” ungkap Malik membuka cerita perkenalannya dengan Hasan Tiro.
Apalagi
tuturnya, Hasan Tiro merupakan keturunan langsung tokoh Aceh yang sangat
disegani olehnya, Teuku Cik Di Tiro. “Sudah ada kedekatan emosional sejak
pertama kali saya membaca surat Teungku,” kisah Malik yang kini juga dipanggil
Teungku oleh para anggota GAM ini. Apalagi ketika itu ayahnya pernah berpesan
padanya, agar ia iku jejak langkah Hasan Tiro. “Ia bakal menjadi orang besar di
Aceh,” Malik menirukan kata-kata ayahnya.
Menurut
Malik, ada kepercayaan Aceh yang menyatakan bahwa darah pejuang akan mengalir
melalui keluarga tertentu yang berpengaruh, sepeti Tiro. Karena itulah rasa
hormat itu kian menumpuk di hati Malik, hingga ia memutuskan untuk bersumpah
setia mengikuti perjuangan Hasan Tiro.
Pertemuan
Malik dan Hasan secara langsung terjadi di tahun 1964. Tepatnya ketika Hasan
Tiro pulang dari Amerika dan langsung mendatangi kediaman keluarganya. “Kami
sekeluarga terkaget-kaget melihat kehadiran Hasan Tiro di rumah kami. Wajahnya
sangat karismatis dan intelek. Meskipun berpendidikan barat, namun soal
sopan-santun sangat dijaga. Bahkan terkesan sangat aristocrat. Iapun fasih
menggunakan bahasa Aceh yang sangat halus,” Malik mengungkapkan kekagumannya
pada sosok Hasan Tiro yang membuka wawasan berpikirnya.
Belum lagi
soal perilaku hangat dari pemimpin yang dikagumi ini terhadap keluarganya,
membuat Malik semakin yakin akan pilihannya untuk bergabung bersama Hasan Tiro.
“Ketika itu, ia langsung masuk ke dapur dan bertanya pada ibu saya tentang
masakan yang tengah dibuatnya,” pria bertubuh tinggi tegap ini mengingat
kisahnya. “Padahal beliau merupakan tamu kehormatan di rumah kami.” Sejak tahun
1964, ia resmi bergabung dengan Hasan Tiro, hingga kini.
Tak banyak
disinggung tentang pendidikan yang pernah dilaluinya. Ia memilih untuk
bercerita soal lain yang menurutnya “lebih esensial” untuk dibicarakan saat
ini.
Kini
Malik sudah “pindah” ke Swedia. Namun ia tidak melakukan kerja formal seperti
Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah. “saya full konsentrasi untuk GAM saja,”ia
menegaskan. “Kalau saya punya kerja tetap, nanti saya nggak ada waktu untuk
baca laporan sedemikian banyaknya,” ia tertawa lepas.
“Jangan
ditanya, beban saya sangat berat. Berat tanggung jawabnya.,” tuturnya tentang
tugasnya sebagai perdana menteri GAM saat ini. Setiap kebijakan yang
dikeluarkan olehnya akan memberi dampak yang sangat besar. “Apalagi sekarang
ini kan program darurat. Kalau aman, semuanya bisa lancer dan tertentu. Tapi
kita dalam kondisi perang, tukasnya taktis. Banyak hal yang sangat dalam
yang benar harus dipikirkan, karena selain memikir strategi perang, kami juga
memikir situasi rakyatnya. Itu semua menjadi beban yang harus ditanggungnya
saat ini. “Sejarah kelak akan mencatat, apa yang telah saya lakukan memberikan
manfaat atau justru merugikan suatu bangsa. Itulah yang sangat berat buat
saya,” nada suaranya memberat.
Tentang
proses perdamaian yang tengah terjadi saat ini, Malik Soal perdamaian yang
tengah terjadi ini, sebuah sejarah masa depan ditorehkan. Tak hanya untuk Aceh,
tapi juga rakyat Indonesia yang lain. Kalau perjajnjian ini bia dihasilkan
sesuai yang dimaksud, semua rakyat, Tapi juga menentukan rakyat Indonesia yang
lain.
Masyarakat
Aceh adalah kaum perantau seperti dirinya, tukas Malik. Meskipun tubuhnya tak
berada di wilayah konflik itu sejak puluhan tahun lalu, namun hati dan jiwanya
senantiasa terpagut di tanah air Aceh. “Aceh adalah asal-usul saya. Kami sangat
cinta, rindu dan segala hal mengenai Aceh sangat dalam dalam jiwa saya,” Malik
mengungkapkan perasaannya.
Apalagi
belakangan ini, perasaan rindu itu kian menyeruak di hati petinggi GAM
ini. “Saya terkenang dengan semua teman-teman yang telah berjuang di
hutan-hutan. Banyak yang syahid (meninggal). Mereka adalah masyarakat yang
penuh dedikasi untuk bangsanya,” tukasnya. Begitu juga dengan masyarakat Aceh
yang sedang ada di perantauan, paparnya, bagi Malik, orang perantau seperti
dirinya, merupakan orang orang tak sudi dijajah oleh bangsa lain. Mereka itu
juga pejuang untuk menegakkan harkat dan martabat bangsa Aceh.
Karena itu,
Malik terkenang saat salah satu televise swasta di Indonesia menayangkan
tayangan interaktif antara dirinya, pemerintah Indonesia, dengan masyarakat
Aceh secara langsung. “Saya merasa terharu, akan ketulusan dan kesabaran
masyarakat Aceh dalam menghadapi semuanya. Karena itu, tekad saya semakin besar
untuk saling mewujudkan kedamaian di bumi Aceh.”
Hal yang
ingin dilakukan Malik apabila semua telah berjalan damai adalah mengumpulkan
dan mengembangkan kekayaan budaya Aceh yang kini mulai sirna. “Peradaban tinggi
suatu bangsa terletak pada budayanya. Aceh merupakan bangsa yang sangat kaya
peradabannya. Bayangkan saja, di masa lalu, busana tradisional Aceh sudah
sedemikian mewahnya, terbuat dari beludru yang pada masa itu harganya sudah
sangat mahal. Bayangkan saja arsitektur Aceh yang semikian indah dan stylenya.
Juga soal makanannya,” tuturnya menggebu-gebu. “Saya ingin mengembangkan
kembali kejayaan kebudayaan Aceh yang sudah banyak hilang itu,” ia menuturkan
harapannya.
Suasana kian
mengalir. Waktu meluncur tajam tak terasakan saat berkumpul bersama mereka. Tak
ada satupun pengawal bersenjata laras panjang yang mengitari meja kami. Tak ada
senjata yang terkokang di sepanjang perjalanan menuju markas GAM di Albi. Tak
ada rompi anti peluru yang diletakkan di dalam ruangan itu. Yang ada hanyalah
kehangatan suasana kekeluargaan, dengan secangkir the manis serta kue manis
khas Swedia.
(Pemandangan
ini tentu saja terasa mengejutkan bagi Media yang pada bulan Mei lalu sempat
bertandang ke Aceh. Media dikawal oleh 38 pasukan dari kepolisian dan ABRI
lengkap dengan senjata dan rompi anti peluru untuk menghindari serangan GAM di
lapangan. Kondisi di lapangan pun terasa sangat mencekam. )
Meskipun
yang mereka lakukan merupakan sebuah strategi mengadapi peperangan, namun tak
satupun pemimpin terlihat dalam kondisi stress atau underpressure. Bukan
berarti para pemimpin ini tidak memikirkannya, namun satu hal pasti dijaga oleh
para pemimpin ini adalah managemen kondisi fisik dan psikologis para
pemimpinnya dengan prima. Tak ada grusa-grusu (ceroboh), yang ada
mengkomunikasikan satu hak dengan hal lain dengan sangat bijaksana.
Minggu, 04 November 2012
Para Penyokong Kursi Darussalam
TEMPO | Para Penyokong Kursi Darussalam
Oleh: Tempo - 18/04/2012 - 07:44 WIB
KARPET merah bermotif Turki masih terhampar di ruang tamu Mess
Wali Nanggroe, Jalan Danubroto, Banda Aceh. Botol-botol air mineral
berserak. Kenduri baru selesai dilaksanakan, mengundang anak-anak yatim.
Doa didaraskan agar tuan rumah, Zaini Abdullah, bisa “menjalankan
amanah”.Berpasangan dengan Muzakkir Manaf, Zaini bakal memikul “amanah” baru. Hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei memperkirakan mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka itu akan menjadi Gubernur Aceh untuk lima tahun ke depan. Pasangan ini besar kemungkinan memenangi pemilihan Senin pekan lalu dalam satu putaran.
Pada usia 72 tahun, Zaini berusaha tampil kasual ketika menemui Tempo, Kamis pekan lalu. Ia mengenakan kemeja dan celana kain. Tapi, pada saat pemotretan, ia memakai jas. Di kakinya, ia tetap mengenakan sepatu Crocs. “Kami akan memangkas birokrasi, dan menekan korupsi,” ia berjanji.
Toh, usia tak bisa disembunyikan. Bicaranya sering terdengar bergetar. Beberapa kali, Muzakir Abdul Hamid, ajudan yang menemani wawancara, menegaskan maksud ucapan bosnya. Ia juga sempat berpindah kursi, dari sofa yang disebutnya “terlalu empuk” dan ia tak bisa duduk di situ.
Sempat bergerilya di gunung, lalu lari ke Swedia, Zaini bakal memimpin birokrasi. Ia didampingi Muzakkir, yang juga bekas gerilyawan sebagai Panglima Militer Gerakan Aceh Merdeka. Pencalonan keduanya tak lancar sejak awal, terutama karena perselisihan mereka dengan Irwandi Yusuf, juga bekas anggota GAM, yang memimpin Aceh pada 2006-2011. Perundingan, lobi-lobi, juga pertemuan dengan tokoh-tokoh Jakarta harus dilakukan, termasuk pertemuan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, menjelang akhir tahun lalu.
l l l
KETEGANGAN meruap di Restoran Sumire, lantai empat Hotel Grand Hyatt. Pentolan Partai Aceh, seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Muzakkir Manaf, berhadapan dengan tim Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
Pertemuan pada 21 November 2011 malam itu membahas kesepakatan soal pemilihan Gubernur Aceh. Ini pertemuan kesekian kali, dan sesungguhnya sudah ada tiga butir kesepakatan yang diteken Djohan dan Muzakkir di Restoran Shima, Hotel Aryaduta, sebulan sebelumnya.
Kesepakatan mentah ketika Muzakkir tiba-tiba menelepon Djohan. Ia balik menolak butir ketiga kesepakatan yang membuka pintu bagi calon independen pada pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. “Padahal kami sebelumnya telah senang karena pemilihan bisa segera digelar,” kata Djohan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kepada Djohan, Muzakkir beralasan, Undang-Undang Pemerintahan Aceh hanya sekali membolehkan calon independen, yakni pada 2006, ketika Partai Aceh belum terbentuk. Irwandi Yusuf, yang menggunakan jalur ini, memenangi pemilihan. Namun Mahkamah Konstitusi kemudian merevisi Pasal 256 sehingga calon gubernur yang tak diusung partai boleh mendaftar.
Partai Aceh menuding pencabutan pasal itu sebagai “pengkhianatan Jakarta” terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan damai Helsinki 2005. Mereka lalu mengungkit “pengingkaran Jakarta” terhadap Ikrar Lamteh, yang memantik perlawanan Daud Beureueh, pada 1958.
Djohan berusaha melunakkan sikap petinggi Partai Aceh. Ia menjelaskan bahwa pencabutan itu keputusan lembaga yudikatif yang tak bisa dicampuri kekuasaan eksekutif. Usahanya gagal. Pertemuan di Hotel Hyatt buntu karena kedua pihak sama-sama bertahan. “Akhirnya, pemerintah menyerahkannya ke Komisi Independen Pemilihan Aceh,” kata Djohan.
Kebuntuan itu rawan karena Komisi sudah membuka pendaftaran calon independen. Jika ini tetap dilanjutkan, Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Akibatnya, situasi keamanan dan politik di Aceh bisa goyah lagi. Partai lokal wadah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka ini menguasai hampir separuh kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. “Order Presiden cuma satu: bikin Aceh aman,” ujar Djohan.
Tak mau situasi jadi tak menentu, Djohan mengajak Malik, Zaini, dan Muzakkir berunding lagi. Untuk meyakinkan mereka, Djohan meminta bantuan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Di kalangan tokoh Partai Aceh, Jusuf Kalla cukup dihormati.
Kalla adalah perintis dan tokoh di balik kesepakatan damai Helsinki. Hingga kini, tokoh-tokoh Aceh terus menjalin kontak dengannya. “Saya menelepon Malik Abdullah agar mau berunding lagi,” kata Kalla kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Sebagai Wali Nanggroe, Malik disegani di kalangan mantan gerilyawan GAM, terutama setelah Hasan di Tiro meninggal pada 2010.
Malik melunak oleh bujukan Kalla. Mereka sepakat bertemu lagi dengan tim Djohan di Hotel Sahid pada 12 Desember 2011. Waktu itu, jadwal pemilihan kepala daerah sudah diundurkan satu bulan menjadi 24 Desember. Jusuf Kalla, dengan bantuan orang-orang dekatnya, termasuk mantan Menteri Hukum Hamid Awaludin, juga mencoba menjelaskan asal-usul aturan calon independen kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam pertemuan berikutnya dengan tim Djohermansyah, tim Malik bersedia berkompromi. Mereka menerima dua pasal penundaan jadwal pemilihan sampai urusan pemilihan ini disahkan dalam qanun. Mereka juga setuju ada penunjukan penjabat Gubernur Aceh setelah masa jabatan Irwandi Yusuf berakhir pada 8 Februari 2012.
Tanpa diduga, mereka juga menerima pasal tiga soal calon independen. Tapi mereka meminta catatan tambahan, yang menjamin tak ada lagi perubahan isi Undang-Undang Pemerintah Aceh tanpa konsultasi dengan DPR Aceh. Muzakkir dan Djohan meneken nota kesepakatan butir keempat ditulis tangan.
Kengototan Partai Aceh soal calon independen ini merupakan ekor perseteruan mereka dengan Irwandi Yusuf sejak awal pemerintahannya pada 2006. “Selama lima tahun memimpin Aceh, dia tak pernah sowan kepada kami, menjalankan program sesuka hati. Dia durhaka kepada kami,” kata Zaini Abdullah.
Dengan pemilihan diundurkan hingga masa jabatannya berakhir, Irwandi tak lagi bisa memakai fasilitas pejabat untuk berkampanye. Ini merupakan kemenangan Zaini dan Muzakkir atas Irwandi. Kemenangan sesungguhnya diperoleh Senin pekan lalu, pada hari pemilihan. Berdasarkan hitung cepat perolehan suara, Zaini-Muzakkir diperkirakan menang dalam satu putaran. Mereka meraih 55 persen suara dari tiga juta lebih pemilih.
l l l
PADA masa kampanye, tiga pensiunan jenderal mendukung Partai Aceh: bekas Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko dan Mayor Jenderal Purnawirawan Djali Yusuf serta bekas Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Brigadir Jenderal Purnawirawan M. Yahya. Ketiganya bahkan menjadi juru kampanye.
Menurut Zaini, tiga jenderal itu datang menyatakan bergabung dengan kubunya tahun lalu. Sejak deklarasi pencalonan Zaini-Muzakkir hingga kampanye selama Maret-April kemarin, ketiganya selalu duduk di barisan terdepan. “Saya kenal secara pribadi dengan mereka sejak zaman GAM,” kata Soenarko.
Soenarko mengklaim membujuk Muzakkir mendaftar dalam pemilihan gubernur setelah Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Padahal, saat masih aktif di TNI, Soenarko termasuk keras menentang GAM. “Sekarang saya mengerti mereka memberontak karena ingin Aceh maju,” ujarnya.
Irwandi Yusuf, lawan Zaini, menyebutkan Soenarko datang membawa kepentingan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Soenarko adalah bekas bawahan Prabowo di Komando Pasukan Khusus. “Dia membawa misi Prabowo untuk pemilihan presiden 2014 dan bisnisnya di Aceh,” kata Irwandi.
Menurut Irwandi, Prabowo memiliki konsesi hutan tanaman industri yang mengelilingi Danau Lot Tawar sepanjang Kabupaten Bener Meriah hingga Aceh Tengah seluas 97.300 hektare. PT Tusam Hutani Lestari beroperasi sejak 1997, memasok kayu untuk PT Kiani Kertas Pulp & Paper. “Dia minta perpanjangan izin, tapi saya tolak,” katanya.
Soenarko tak menyangkal kedekatannya dengan Prabowo. Orang-orang dekatnya menyatakan Soenarko pernah diajak Prabowo bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas membicarakan pemilihan di Aceh ini. “Prabowo juga menyumbang (buat pasangan Zaini-Muzakkir),” kata Sofyan Dawood, bekas juru bicara GAM, yang menjadi anggota tim sukses Irwandi.
Djali Yusuf, bekas anggota staf khusus presiden, yang dimintai konfirmasi soal misi Soenarko, tak menyangkal atau membenarkan. “Pak Soenarko bukan anggota Gerindra, tapi kalau di 2014 dia mau masuk partai, itu hak dia,” katanya.
Prabowo belum bisa dimintai komentar. Sejumlah orang dekatnya menolak pernyataannya dikutip, dengan alasan “bukan merupakan bagian pekerjaan”-nya.
Kedua kubu juga berusaha menggandeng pengusaha Tomy Winata. Tahun lalu, dua kali Irwandi menemui petinggi Grup Artha Graha itu untuk meminta bantuan dana kampanye. Keduanya akrab setelah Irwandi sebagai gubernur menuding Tomy membeli lima harimau Sumatera dari Aceh untuk hutan di Lampung pada 2008.
Tomy, menurut Irwandi, berusaha mengontaknya setelah itu. Ia menolak dan meminta Tomy mengembalikan harimau ke Aceh. Tomy menolaknya. “Saya lawan,” kata Irwandi, lalu melanjutkan: “Dia (dituduh sebagai) mantan mafia, tapi saya mantan pemberontak. Derajatnya lebih tinggi, ha-ha-ha….”
Saat terserang stroke dan dirawat di Singapura, Irwandi mengatakan Tomy memberinya biaya pengobatan Rp 70 juta dan menyediakan apartemen. Sejak itu, mereka berteman. Jika ke Jakarta, Irwandi menginap di Hotel Borobudur milik perusahaan Tomy.
Irwandi juga tak sungkan memakai pesawat Cassa milik Tomy untuk memantau kondisi Aceh. Ia sendiri kadang yang mengemudikannya karena pernah belajar menyetir pesawat ketika kuliah di Amerika Serikat. “Untuk pemilu ini, dua kali saya menagih dia di ruangannya di Artha Graha,” kata Irwandi.
Tomy, kata Irwandi, hanya mengiyakan, tapi tak memenuhinya. Sampai pemilihan berlangsung, ia menyatakan, tak sepeser pun Tomy mengeluarkan uang. Irwandi mengaku habis Rp 14 miliar untuk kampanye dan persiapan pemilu. Dari sakunya, ia mengeluarkan Rp 6 miliar. Sisanya pinjam sana-sini. “Sekarang pusing juga bagaimana membayarnya,” ujarnya.
Tak mengucurkan duit untuknya, Irwandi mendengar, Tomy malah bertemu dengan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Irwandi mengatakan tak paham terhadap alasan Tomy mendukung Zaini, kecuali dugaan taipan pemilik kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, ini berminat bisnis padi di Tangse, Aceh Tengah.
Muzakkir mengakui bertemu membahas dana kampanye dengan Tomy Winata pada November tahun lalu. Seusai pertemuan, kata dia, Tomy tak langsung mengeluarkan uang. “Baru pada saat Lebaran Haji, ajudannya memberi saya Rp 20 juta,” ujarnya. “Mungkin untuk ongkos atau apa saya tak tahu.” Hingga tulisan ini selesai, Tomy Winata tak merespons permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke telepon selulernya.
Muzakkir mengatakan tak menerima sepeser pun dari Prabowo. “Tapi tak tahu kalau dia memberikannya ke yang lain,” katanya. Ia menyatakan hanya pernah sekali bertemu dengan Prabowo Subianto di Hotel Santika Bogor, Januari lalu. “Kami membicarakan pertanian di Aceh,” ujarnya.
Soal sokongan dari banyak tokoh Jakarta, Zaini mengatakan, “Dukungan mereka tanpa konsensus. Mereka tak bertanya kami akan memberikan apa.”
Sabtu, 03 November 2012
Karim Tiro, Sosok yang Misterius
Bagi masyarakat Aceh, sosok Karim Michel Tiro
(selanjutnya disebut Karim saja) kalah populer dibanding ayahnya,
Teungku Hasan Muhammad di Tiro (selanjutnya disebut Tiro). Selama
puluhan tahun, namanya hanya disebutkan secara terbatas, itu pun hanya
di kalangan GAM saja. Pun begitu, Tiro, ayahnya, sering menyebut
namanya, baik dalam pidato maupun dalam tulisan. Dalam The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, nama anak semata wayangnya disebut berkali-kali, bahkan dengan bangga.
Alm Teungku Hasan Tiro bersama Zaini Abdullah dan anaknya, Karim Tiro. Foto kiriman seorang teman di Denmark |
Iya, kini sepeninggalan Tiro, nama Karim
mencuat ke permukaan: Setidaknya, ada dua sebab: karena orang-orang
pada penasaran; juga karena mereka kecewa.
Penasaran karena, selama puluhan tahun
masyarakat tak pernah melihat sosoknya secara langsung dan nyata. Foto
dirinya juga terbatas, termasuk arsip di internet. Kisah tentangnya
begitu tertutup dan misterius, kecuali beberapa dokumen dari Universitas
tempatnya mengabdikan diri sebagai asisten profesor ilmu sejarah di
Xavier University.
Sementara yang kecewa, memiliki alasan
bermacam-macam. Meski dalam sejumlah pemberitaan, ketidakpulangan Karim
disebut-sebut karena alasan keluarga yaitu ibunya, Dora, sakit keras.
Tapi, sebagai anak yang berpisah cukup lama dengan orang tuanya,
seharusnya Karim bisa pulang ke Aceh, menjenguk bapaknya. Di satu sisi
ini sebuah dilema bagi pria yang berwajah Timur tengah ini: memilih
pulang ke Aceh, ibunya sedang sakit keras. Tidak pulang ke Aceh, ayahnya
juga sakit keras, dan kini sudah meninggal dunia. Sebuah keputusan yang
sulit untuk seorang anak seperti Karim ini.
Asnawi Ali, warga Aceh yang lama bermukim di Swedia, bercerita jika Karim itu sosok yang paling pelit bicara. “Meuri that dijaga jarak,”
ujarnya tanpa menjelaskan detailnya seperti apa. Menurut Asnawi,
komentar-komentar yang dikirim melalui email, pernyataan Karim sangat
normatif. “Meuri hati-hati that dipeuteubit narit,” lanjutnya
sembari menambahkan pasca MoU Helsinki Karim hampir tak pernah
berkomunikasi lagi dengan Tiro. Jika pun ada komunikasi dengan Karim,
katanya, Tiro sering mewakilkan melalui orang dekatnya. Asnawi membenarkan jika sosok Karim memang sangat misterius.
Karim dikenal pakar dalam bidang
sejarah, terutama sejarah Amerika. Pun demikian, Karim tak memilih Aceh
sebagai objek kajian akademisnya seperti halnya sang ayah. Karim memilih meneliti soal sejarah Amerika abad 16 hingga 18.
Jangan heran, jika kita tak pernah temukan tulisan-tulisan dia mengenai
sejarah Aceh. Dalam biografi singkat seperti dimuat di website Xavier
University, Karim mengakui tertarik meneliti soal sejarah perang Amerika yang kurang dikenal, khususnya Perang 1812, Perang Meksiko dan Perang Spanyol-Amerika.
“Sengaja jih dijaga jarak dan dueh don’t care about Aceh (tidak peduli tentang Aceh),” kata Asnawi dalam bahasa Aceh bercampur Inggris.
Keterangan Asnawi ini hampir sama dengan
keterangan yang disampaikan Budiman, orang Aceh yang tinggal di
Washington, Amerika. Menurut Budiman, 6 bulan lalu Karim pernah datang
ke Harrisburg, dan bertemu dengan Tgk Musanna Abdul Wahab, Tgk Zahizi,
Mahfudh Usman Lampoh Awe, dan lain-lain. “Lon deungo terakhir jih hana galak meusangkot paot politek di Aceh,” kata Budiman.
Karim Tiro tengah berdiskusi dengan mahasiswa di Xavier University--AP Photo |
Pun begitu, katanya, cerita soal Karim M Tiro
sering didengarnya. Budiman mengaku, dua hari lalu, Kamis (/6), Mahfud
Usman Lampoh Awe pernah menghubungi Karim dan mengabarkan meninggalnya
Wali. Mahfud ini adalah putra Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, mentari
keuangan GAM dalam kabinet Hasan Tiro. Kini sudah almarhum.
Saat berbicara melalui telepon dengan
Mahfud, cerita Budiman, Karim mengaku sangat berduka. Namun, saat itu
Karim tak bisa menjanjikan apakah bisa pulang ke Aceh atau tidak.
Ketika ditanya bagaimana perasaan orang
Aceh di Amerika mendengar Tiro meninggal, Budiman mengatakan, orang Aceh
sangat berduka dan merasa kehilangan. Rencananya, lanjut Budiman, orang
Aceh di sana akan menggelar tahlilan untuk Wali, sebutan Tiro di
kalangan anak buahnya. Budiman mengaku akan berangkat ke tempat tahlilan
bersama Mahfud.
Asnawi juga mendapat kabar jika Karim sangat berduka dengan berita meninggalnya Wali Nanggroe yang juga orang tuanya itu. “Memang berduka tapi hana meujan diwo,” jawabnya yang mengaku sudah mengirim email kepada Karim. “Lon tanyong bak email pajan diwoe, hana dijaweub. Tatanyong laen dijaweub laen,” lanjutnya.
Asnawi kemudian mengirimkan alamat
lengkap Karim yaitu di Xavier University 3800 Victory Parkway
Cincinnati, OH 45207-4444 USA, plus email:tiro@xavier.edu. Asnawi
sengaja meminta Harian Aceh menghubungi Karim langsung via email, siapa
tahu mau menjawab. “Aci tes kirém email dari sinan....peuë keuh ditém jaweub meunyo neutanyong pajan diwoe atawa pue na rencana woe?” saran Asnawi pada Harian Aceh melalui layanan chatting Facebook, Sabtu (5/6).
Sebelumnya, Harian Aceh sudah beberapa
kali mengirim email untuk Karim, pertama menggunakan bahasan Indonesia,
tak ada balasan. Menurut Asnawi, Karim tidak bisa berbahasa Indonesia.
Harian Aceh kemudian mengirim email dengan menggunakan bahasa Inggris
menanyakan keadaannya termasuk rencana kepulangannya ke Aceh. Tapi
ditunggu beberapa hari tak ada balasan. Malah, email yang dikirim
sepertinya ditolak oleh sistem.
“Oo...sang ka ditop email, di teupeuë ramé yg mita jih,”
kata Asnawi saat diberi tahu bahwa email yang dikirim Harian Aceh tidak
terkirim, meski alamat emailnya sudah benar seperti yang tercatat di
Xavier University.
Memang, sejak kondisi kesehatan Wali
memburuk, sosok Karim jadi begitu penting. Orang-orang ingin tahu
bagaimana sikapnya, apakah akan pulang ke Aceh atau tidak. Selain itu,
orang-orang bertanya-tanya bagaimana kelanjutan dinasti Tiro
sepeninggalan Wali. Namun, dalam sejumlah pernyataan seperti dikutip
koran lokal, Karim sepertinya enggan menggantikan posisi Wali.
Asnawi juga bercerita, jika Karim sebelumnnya pernah berkunjung ke Swedia, tempat dimana Wali menetap. “Lôn deungo-deungo na, tapi katrép, seugolom lôn teuka u Sweden nyoe,” katanya. “Awak awai mungkén leubèh teupeuë,”sambungnya.
Wali sendiri, punya cerita soal anak semata wayangnya. Dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan Di Tiro,
Wali menulis jika anak semata wayangnya, Karim, seorang yang cukup
ganteng dan cerdas. Sementara istrinya, Dora, disebutnya sangat cantik.
Tiro bercerita, bahwa dirinya cukup
berat meninggalkan keduanya di tengah keramaian Kota New York yang tak
henti berdenyut. Namun, Tiro harus menunaikan nazarnya yang diucapkan
saat melakukan perjalanan meneliti satu kawasan di Oregon, Amerika. Saat
itu, Tiro bernazar kepada Allah jika ia dan tiga rekan bisnisnya
selamat dari musibah, dirinya akan pulang ke Aceh sebelum 4 September
1976, atau bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46.
Dalam buku catatan hariannya yang tak
selesai itu, Hasan Tiro menulis, dia dan rekan-rekannya terlepas dari
cengkeraman maut. Malah, tulisnya, akibat insiden tersebut, mereka tak
sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel
mewah di Seattle.
Seperti kita tahu kemudian, Tiro memilih
pulang ke Aceh. Tiro memilih meninggalkan bocah laki-lakinya, Karim,
yang saat itu berusia 6 tahun dan juga istrinya, Dora. Dalam buku yang
awalnya berbentuk stensilan itu, Tiro menulis, sepanjang perjalanan dari
Amerika ke Aceh, wajah anak dan sang istri selalu membayang dan tak
hilang dari pandangan. Tiro membayangkan bagaimana sepinya hidup Dora,
gadis Amerika keturunan Timur Tengah yang sudah memberinya seorang anak
laki-laki.
Tiro menulis, saat pesawat yang
membawanya semakin dekat dengan Aceh, perasaannya galau, sedih dan juga
dibalut emosional. Untuk menghapus wajah anak dan istrinya, Tiro mencoba
melihat keluar jendela pesawat. Ia pun teringat mati. Diakuinya, Ia
takut mati bukannya karena kehilangan nyawa dan terpisah dengan Karim
dan Dora, tapi yang lebih ditakutkan, ia belum melakukan sesuatu yang
harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.
Karim cukup terkesan bagi Tiro. Ketika
Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai
Karim. Tiro menulis, bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat
berusia empat dan lima tahun.
Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah
toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga
toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam
permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir,
telah ada bunyi peluit. Gerombolan itu pun lari pontang-panting. Saat
menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di
tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.
Di lain kesempatan, cerita Tiro, Karim
diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pusat
perhatian orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung
PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia
mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Tiro sedang berjalan-jalan
dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati
bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila
berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti
mendampingi orang penting. Karena putranya selalu menjadi perhatian para
pejalan kaki lain.
Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya
di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon
seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy,
yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim.
Senator itu kemudian menghampiri Tiro untuk memberi pujian kepada
Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda,
sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Tiro,
dalam diarynya.
Langganan:
Postingan (Atom)